jendela

KEBIASAAN YANG PERLU KITA TIRU !

Menyetor hafalan al-Quran antara teman sejawat atau seorang murid kepada gurunya; seorang guru memperbaiki hafalan para santrinya; orangtua menyimak bacaan anak-anaknya di rumah sehabis shalat; mahasiswa menyimakan hafalan al-Quran kepada kakak kelasnya; para hufaz (orang-orang yang hafal al-Quran) mengulang hafalannya kepada para syeikh mereka, semua itu barangkali sudah menjadi fenomena yang cukup lumrah bagi kita. Fenomena berinteraksi dengan al-Quran yang berbeda malah saya jumpai di Mesir, yaitu orang-orang sudah masuk golongan kakek-kakek masih suka menghafal dan memperdengarkan bacaannya kepada temannya, notabenanya juga tidak kalah tua darinya. Mengulang kembali huruf yang tercecer ketika membaca, menghafal dan memperbaiki makharijul huruf yang salah menurut temannya, bukanlah sebuah beban bagi mereka. Keterbukaan dan saling menasehati sangat jelas tampak dari raut-raut wajah mereka ketika menelusuri huruf demi huruf al-Quran. Menurut saya, kebiasaan ini terbilang luar biasa dan sangat wah. Kenapa saya berani mengatakan ini sebuah fenomena wah, karena pemandangan seperti itu kerap sekali mengundang saya tertekun kagum. Mata saya juga masih terbilang asing dengan pemandangan menyejukan seperti ini. Saya juga nyaris tidak menemukan kebiasaan orang-orang tua seperti ini di masjid-masjid di kampung. Kalaupun mereka berkumpul, barangkali karena ada momentum kajian rutin, mingguan dan ceramah agama. Itu pun kerap ditemani oleh kepulan asap rokok yang membumbung ke langit-langit ruangan masjid. Saya berasumsi bahwa ini adalah kegiatan spektakuler plus istimewa yang ditampilkan oleh kalangan lansia Mesir. Fenomena menghafal al-Quran ketika tua ini, sudah hampir tiga tahun saya amati di sudut-sudut kota Kairo. Awalnya saya mengira kebiasaan itu hanya didominasi oleh kalangan lansia di sejumlah masjid tertentu saja. Namun setelah berpindah dari satu masjid ke masjid yang lain, saya justru menemukan hal yang sama. Apalagi ketika ujian di Al-Azhar menyapa, saya cukup sering menyendiri di lorong-lorong masjid yang terkadang lumayan jauh dari flat saya tinggal. Tahukah Anda, apa yang saya temukan? Tidak lain adalah orang-orang yang sudah tua masih akrab membuat halaqah (perkumpulan) untuk membaca, menghafal dan memperbaiki bacaan al-Quran. Saat membaca face to face dengan rekannya yang sudah lansia, mereka justru tetap tampak serius dan kusyu`. Tidak ada rasa malu, minder dan gengsi sedikit pun karena mereka sudah kakek-kakek. Itu tidak lain karena mereka tengah melahap kitab suci al-Quran yang setiap huruf bernilai pahala. Dalam halaqah itu, terkadang saya juga melihat sejumlah anak muda yang sangat akrab kalangan lansia, saling memperbaiki bacaan mereka. Berlapang hati untuk diperbaiki, dinasehati, diberikan masukan oleh orang lain sangat jelas terpancar dari mereka. Tentu tidak semua orang mampu melakukan hal itu. Semua itu tidak lain karena mereka kembali ke al-Quran, kendatipun mereka telah puluhan tahun mencicipi asam manis kehidupan. Tidak ada kata menyerah untuk belajar, walaupun terbilang tua pada kenyataannya hafalan mereka tidak kalah akuratnya anak-anak yang masih mengenyam pendidikan. Saya juga memperhatikan bahwa kakek-kakek Mesir itu juga saling bersaing dalam menghafal al-Quran dengan teman sejawatnya. Kendatipun mereka tidak secara terang-terangan mengungkapkan itu kepada saya, tapi kondisi mereka telah menginformasikan hal tersebut. Mereka tidak hanya menyetorkan hafalan satu atau dua halaman tapi terkadang sampai seperempat juz. Mereka membaca juga masih terlihat lancer sehingga apa-apa yang mereka menjadi ritmis di telinga pendengarnya. Satu hal lagi yang sangat akrab dari sorotan mata saya dari kalangan lansia Mesir adalah, mereka selalu mentalkinkan al-Quran kepada anak-anak yang masih belia. Kebanyakan anak-anak itu Saya lihat belum menyentuh bangku pendidikan, baik itu taman kanak-kanak (TK) atau sekolah dasar (SD). Kendatipun mereka terbata-bata tapi ia terus ditalkinkan oleh kakek-kakek. Hasilnya lidah anak-anak kecil mungil itu, saya perhatikan telah akrab dengan ayat-ayat al-Quran di luar kepala. Kebiasaan ini selaras dengan apa pepatah Arab, bahwa menghafal ketika belia bagaikan mengukir di atas batu. Saya beranggapan bahwa tidak ada sebenarnya waktu untuk terlambat menghafal, belajar, memperbaiki diri, mengulang kembali ilmu-ilmu yang telah dipelajari. Begitu juga hal dengan kegiatan menghafal itu sendiri, sebenarnya bukanlah pekerjaan yang hanya digeluti oleh anak sekolahan atau para santri di padepokan. Pelajaran yang sangat luar biasa dari itu adalah budaya saling menasehati dan mengingatkan di antara kalangan lansia. Mereka seakan tidak menyerah dengan keterbatasan jatah tinggal mereka miliki di atas dunia ini. Jika yang tua saja masih ngotot mengulang kembali hafalannya dan membaca al-Quran, lantas bagaimana kita? Barangkali masih bugar, fit dan memiliki banyak waktu senggang! Selain kegiatan yang produktif dan istimewa, tanpa mereka sangka-sangka pada hakekatnya mereka telah berinvestasi pahala untuk akhirat kelak. Banyak sekali hadis-hadis Rasulullah yang menerangkan demikian, karena al-Quran akan datang menjadi syafa`at bagi para pembacanya di akhirat kelak. Semoga ayat-ayat al-Quran yang kita baca menjadi pemberat mizan hasanah kita di hadapan Allah Swt kelak! Amien

Minggu, 03 Januari 2010

pendeta pembohong

Mengaku Sarjana Islam, Pendeta Terbongkar Kedoknya

Di kalangan Kristen, Pendeta Samuel Hermawan dikenal sebagai ahli islamologi mantan Muslim. Namanya mulai naik daun ketika Samuel menuliskan pengalaman rohaninya mengapa ia beralih meninggalkan Islam dan kini menjadi pendeta. Dalam testimoni berjudul “Yesus adalah Tuhan dan Raja,” Samuel menuliskan sbb:

“Saya dulunya dari muslim tamatan sebuah pesantren dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bandung. Saya ingin memberikan kekuatan untuk para sahabat sekalian orang-orang Kristen bahwa apa yang kalian sembah itu adalah benar-benar Tuhan dan Juruselamat. Yesus adalah Tuhan dan Raja sesuai yang tercantum dalam Al Quran, Hadist dan Injil.”

Dalam sebuah dialog Islam dan Kristen, dusta Pendeta Samuel terbongkar. Ternyata dia bukan mantan muslim, terbukti karena ia tidak bisa baca-tulis Al-Qur’an. Pengakuannya sebagai ahli islamologi lulusan pesantren dan Sarjana Islam lulusan STAIN Bandung, adalah kebohongan besar untuk memuluskan Kristenisasi.

Pendeta Samuel mengaku tamatan sebuah pesantren dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bandung...

Bermula ketika Indarwati, bukan nama sebenarnya, yang mempengaruhi kakak kandung, orang tua dan pamannya untuk masuk Kristen.

Empat tahun yang lalu, Indarwati menikah secara Islam dengan seorang pemuda. Seluruh keluarga Indar merestui pernikahan itu, karena beranggapan, sang mempelai pria itu adalah seorang Muslim yang taat beragama.

Belakangan, setelah Indar dikaruniai seorang anak, keluarganya baru tahu kalau suami Indar adalah seorang pendeta. Namun ia tidak mengaku pura-pura Muslim ketika menikah. Kilahnya, kekristenan itu ia terima setelah pernikahan. Kini, Indar sudah berganti iman menjadi aktivis gereja, mengikuti jejak suaminya. Bahkan seorang adiknya berhasil ditarik menjadi seorang Kristen.

Ketika Indar mempengaruhi Eddy, pamannya, untuk masuk Kristen, terjadilah percekcokan ringan. Eddy paman adalah mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia).

“Kamu ini, kok bisa-bisanya masuk Kristen dan ngajak-ngajak keluarga untuk masuk Kristen?” tanya sang paman.

“Ya.. karena sekarang saya tahu kalau Kristen itu jauh lebih baik dari Islam, paman,” jawab Indra santai.

“Siapa sebenarnya yang mempengaruhimu kok sekarang jadi seperti ini?” tanya sang paman lagi.

“Saya tidak dipengaruhi siapa-siapa, paman. Tuhan Yesus sendiri yang memanggil saya. Sekarang saya tahu bahwa Kristen itu kasih dan menyelamatkan,” terang Indra.

“Apa buktinya kalau Kristen itu menyelamatkan dan lebih baik dari Islam?” selidik sang paman.

“Saya tidak bisa menjelaskan secara detil, paman. Kalau Paman ingin tahu jawabannya, nanti saya panggil pendeta saya. Pendeta Samuel Hermawan adalah ahli islamologi, lulusan pesantren dan STAIN Bandung. Paman bisa bertanya sepuasnya tentang kekristenan kepada pak pendeta,” jawab Indra. Maka disepakatilah pertemuan dialog agama di rumah sang paman.

Ahad malam, 15 November 2009, di Bintaro diadakan pertemuan sederhana. Tapi sang paman tidak mau menghadapi sendiri. Karena penasaran, kok ada lulusan pesantren dan sarjana Islam yang bisa pindah iman, maka ia mengundang sanak saudara dan para tetangga. Tidak lupa, ia mengundang Insan Mokoginta Wenceslaus, ustadz yang mantan Kristen.

Pendeta Samuel Hermawan datang tidak sendirian. Ia itemani beberapa pendeta, pekerja gereja dan beberapa jemaat setianya. Dengan dandanan yang klemis dengan baju batik coklat yang dikenakannya, ia tampil sangat percaya diri. Seluruh materi islamologi yang akan dipresentasikan sudah disiapkan dalam laptop dan infocus, lengkap dengan seorang wanita operatornya.

Dialog dimulai pukul 8 malam, disaksikan lima puluhan pendengar dari kalangan Islam dan Kristen.

Setelah memperkenalkan diri, Samuel mulai menerangkan ketuhanan Yesus berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Puluhan ayat Al-Qur’an ditampilkan di layar infocus. Insan yang sudah tidak asing dengan makalah itu menyela, “Maaf Pak Pendeta, paparan yang anda tampilkan itu sebenarnya bukan pemikiran anda. Anda hanya mengutip brosur Kristen “Rahasia Jalan ke Surga” yang memakai nama penerbit palsu Dakwah Ukhuwah. Saya sudah menjawabnya dalam buku “Muallaf Membimbing Pendeta ke Surga” tahun 1999.

Meski tak bisa membantah bahwa presentasi makalahnya sama persis dengan brosur Dakwah Ukhuwah, Samuel kekeuh menyangkalnya, dan terus melanjutkan ceramah.

“Yesus alias Nabi Isa adalah Tuhan yang menjelma menjadi manusia. Al-Qur’an sendiri mengakui bahwa Yesus bisa menyembuhkan orang buta sejak lahir. Bahkan Yesus bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Mari kita renungkan. Selain Tuhan, siapa yang bisa memberi nyawa kepada orang mati. Karena Yesus bisa menghidupkan orang mati, maka dia adalah Tuhan,” jelasnya.

Insan membantah, “Saya tahu, ayat Al-Qur’an yang anda maksudkan adalah surat Ali Imran 49 dan Al-Ma’idah 110. Tapi ayat ini jangan dibaca sepotong saja. Bila dibaca secara utuh, seluruh mukjizat Nabi Isa itu selalu diiringi dengan kalimat ‘bi-idznillah’ yang artinya dengan seizin Allah. Jadi, seluruh mukjizat itu bukan karena kehebatan Nabi Isa, tapi karena izin dan pemberian Allah. Karenanya, yang menyembuhkan dan menghidupkan itu bukan Nabi Isa, melainkan Allah SWT,” katanya.

Samuel tak dapat membantah argumen ini, lalu beralih ke pembicaraan lain. Ia menyatakan bahwa menurut Injil Lukas, tidak semua perbuatan Yesus ditulis dalam Injil. Karena tidak ada kitab yang bisa memuat seluruh ajaran Yesus.

“Tolong Pak Pendeta baca, Injil Lukas yang anda maksud tersebut!” tanya Insan menimpali. “Wah, saya tidak hafal ayatnya, Pak,” jawabnya singkat.

“Tolong pendeta yang lain atau jemaat membaca Injil Lukas yang dimaksud,” tanya Insan kepada jemaat Kristen. Karena tak mendapat jawaban apapun dari pihak Kristen, maka Insan menjawab pertanyaannya sendiri.

“Sebetulnya, ayat yang dimaksudkan Pendeta Samuel itu bukan Injil Lukas, tapi Injil Yohanes 25:21. Kalau tidak percaya silakan baca ayat tersebut,” Insan mempersilakan. Jemaat pun membaca ayat yang dimaksud, ternyata betul. Mereka semakin gusar.

Ternyata Sarjana Islam Gadungan

Ketika ingin membuktikan ketuhanan Yesus sebagai orang yang tahu hari kiamat, Samuel mengutip terjemahan Al-Qur’an surat Luqman ayat 34: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat.”

Penasaran dengan banyaknya kutipan ayat yang hanya dibaca terjemahannya saja, Insan minta Samuel untuk membaca nas Arabnya.

Nyalinya runtuh ketika dites membaca nas Arab Al-Qur'an. Ternyata Pendeta itu bukan lulusan pesantren karena tidak tahu baca-tulis huruf Arab...

“Pak Pendeta, dari tadi anda hanya membaca terjemahan ayat tanpa membaca nas Arabnya. Anda kan ngaku lulusan pesantren dan sarjana Islam, tolong baca nas Arabnya!” pintanya.

Tak disangka, permintaan Insan ini meruntuhkan nyali sang pendeta. Beberapa menit ia hanya memandangi presentasi di layar in focus. Mulutnya terkatup, sesekali ia memandangi jemaatnya, dan sesekali menundukkan wajahnya yang mulai memucat.

Jemaat dan para pendeta yang hadir pun nampak gusar, malu dan salah tingkah di hadapan puluhan hadirin Muslim. Pendeta Samuel Hermawan yang selama ini mereka elu-elukan sebagai ahli islamologi, lulusan pesantren dan sarjana Muslim, ternyata tak lebih pintar dari siswa TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Sementara hadirin dari pihak Islam sebagian tertawa, sebagian geleng-geleng dan sebagian bertepuk tangan. Mereka terheran-heran terhadap Samuel Hermawan yang ditokohkan dan dihormati di gereja, padahal mereka selama ini dicekoki dengan kesaksian dusta.

“Pak Samuel ini aneh sekali. Bagaimana bisa jadi pendeta dan mengaku ahli islamomogi? Padahal anda tidak menguasai Bibel dan tidak paham Al-Qur’an? Mana mungkin anda bisa memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan kristenisasi, padahal anda tidak mengerti baca-tulis Al-Qur’an? Tolong anda beragama yang jujur saja, jangan menipu jemaat” kata Insan menasihati.

Situasi dialog jadi tidak imbang, Insan yang jauh di atas angin, seperti dosen menceramahi anak SD. Tepat pukul 10 malam acara diakhiri, tuan rumah mempersilakan seluruh hadirin untuk menikmati makan malam yang sudah disediakan secara mewah. Terlanjur malu, Pendeta Samuel dan seorang pendeta lainnya buru-buru pamitan pulang meninggalkan para jemaatnya yang sudah membaur bersama hadirin lainnya di meja hidangan.

Seorang peserta yang sangat kecewa terhadap Pendeta Samuel berkomentar, “Katanya lulusan pesantren dan sarjana Islam, gak tahunya seperti ayam sayur,” kata pria berusia 60 tahun yang datang jauh-jauh dari Depok, Jawa Barat. Ternyata Pendeta Samuel adalah "Drs" alias durung rampung sekolah, toh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar